Feeds:
Posts
Comments

Archive for September, 2008

BIRO KAJIAN KEILMUAN DAN PENALARAN proudly presents….

Read Full Post »

oleh : Nurditha Oktariany

BAB I

•    A.            PENDAHULUAN

Kegiatan pertambangan di bumi Indonesia telah banyak menimbulkan kontroversi. Di satu sisi kegiatan pertambangan menguntungkan pemerintah dan pengusaha namun disatu sisi kegiatan pertambangan mengorbankan lingkungan hidup serta dalam banyak kasus masyarakat di sekitar pertambangan. Misalnya saja PT International Nickel Indonesia (PT INCO) yang melakukan kegiatan pertambangannya di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Kegiatan pertambangan yang dilakukan PT INCO ini mengancam lingkungan hidup disekitar kawasan pertambangan. Misalnya saja  perusakan hutan di kawasan proyek pembangunan PLTA milik PT INCO di aliran Sungai Larona, Desa Karebbe, Luwu Timur, yang juga merupakan kawasan hutan lindung. Akibat aktivitas PT INCO tersebut, kelestarian flora dan fauna di kawasan itu menjadi terancam. Hutan yang gundul tentu akan berdampak pada terjadinya bencana. Jika hujan turun dengan deras, kawasan tersebut terancam banjir dan longsor, yang akan menjadi ancaman serius bagi penduduk yang berada di dataran rendah.[1]

Selama ini pemerintah seakan menutup mata akan dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan dan hanya melihat keuntungannya saja. Padahal kegiatan pertambangan ini dibanyak daerah telah mengancam hak asasi manusia terutama hak ekonomi, sosial, politik warga yang bermukim disekitarnya yang sebagian besar merupakan masyarakat asli daerah itu. Misalnya dalam kasus PT INCO, PT INCO menyebabkan terjadinya praktek alienasi (pengasingan) terhadap penduduk-penduduk asli dari tanah-tanah mereka (land alienation) yang merupakan warisan leluhur. Kehadiran PT INCO, lanjut Sangaji, juga telah menyebabkan adanya kesenjangan sosial yang sangat mencolok antara kehidupan karyawan PT INCO dengan penduduk asli yang sangat miskin.[2]

Oleh karena itu pemerintah berkewajiban melindungi hak asasi manusia warga pemerintahnya dalam kondisi apapun karena telah dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB tahun 1945.

  • B. IDENTIFIKASI MASALAH
  • 1. Bagaimana dampak-dampak yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan pertambangan terhadap masyarakat sekitarnya?
  • 2. Apakah kegiatan pertambangan yang dilakukan PT INCO telah melanggar instrumen-instrumen HAM nasional dan internasional?

 C. TINJAUAN HUKUM

  • 1. Deklarasi Universal HAM PBB 1948
  • 2. Undang-Undang Dasar 1945
  • 3. Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Sosial, and Cultural Rights), tahun 2005
  • 4. ICCPR
  • 5. Protocol Kyoto
  • 6. UU Pertambangan tahun 1967
  • 7. UU no 19/2004 tentang kehutanan
  • 8. UU no 7/2004 tentang sumber daya air

BAB II

ANALISIS DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN OLEH PT INCO TERHADAP HAK-HAK EKOSOB MASYARAKAT DISEKITARNYA DILIHAT DARI SISI INSTRUMEN HAM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

 

•    A.            DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN OLEH PT INCO TERHADAP HAK-HAK EKOSOB MASYARAKAT DISEKITARNYA

  • 1. DAMPAK POSITIF

Sejak PT INCO berdiri, perusahaan tambang ini telah memberikan pemasukan kepada kas pemerintah berdasarkan Kontrak Karya I, royalti yang diterima pemerintah Indonesia hanya sebesar 0,015% dari harga setiap kilogram nikel. Sewa lahan tambang setiap tahunnya hanya sebesar 1 US dollar per hektar per tahun. Dalam Kontrak Karya II, sewa lahan tambang dinaikkan menjadi 1,5 US dollar per hektar per tahun, namun royalti sama sekali tidak berubah. Pendapatan pemerintah jauh lebih rendah dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh PT INCO. Misalnya saja, antara tahun 1988-1998, pendapatan pemerintah hanya 25,7 juta US dollar dalam bentuk royalti, pajak perusahaan, sewa tanah, dan sewa air, sedangkan keuntungan bersih PT INCO tahun 1989 sebesar 182 juta US dollar. Total keuntungan PT INCO dari 1988 hingga 1998-di luar tahun 1990, 1991, 1992, dan 1993-mencapai 588 juta US dollar. Adapun pajak dari penghasilan PT INCO (terhitung sejak 1 April 2008), dikurangi menjadi hanya sebesar 30%, yang sebelumnya mencapai 45% (Arianto Sangaji, 2002).[3]

 

2. DAMPAK NEGATIF

Perusahaan tambang PT INCO di Sulawesi selain memberikan dampak positif namun juga memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitar, baik alam maupun manusia disekitar pertambangan.

Akibat operasi PT International Nickel Indonesia (PT INCO), bencana lingkungan dan kemanusiaan di sekitar kawasan tambang, terus meningkat. Komitmen PT INCO terhadap lingkungan hidup, sangat-sangat buruk. Lihat saja perusakan hutan di kawasan proyek pembangunan PLTA milik PT INCO di aliran Sungai Larona, Desa Karebbe, Luwu Timur, yang juga merupakan kawasan hutan lindung. Akibat aktifitas PT INCO tersebut, kelestarian flora dan fauna di kawasan itu menjadi terancam. Hutan yang gundul tentu akan berdampak pada terjadinya bencana. Jika hujan turun dengan deras, kawasan tersebut terancam banjir dan longsor, yang akan menjadi ancaman serius bagi penduduk yang berada di dataran rendah.[4]

PLTA tersebut memasok sekitar 80 % tenaga listrik yang dibutuhkan. Kemewahan inilah yang menyebabkan biaya pertambangan PT Inco sangat murah.  Ironisnya, disaat yang sama, pembangunan PLTA Larona juga telah menggenangi mesjid, rumah, sawah, dan kebun-kebun penduduk.[5]

Model penambangan terbuka (strip mining) di kawasan dengan curah hujan relatif tinggi, seperti Sorowako, akan menyebabkan tanah dari bukit-bukit dengan mudah mengalir ke danau ketika hujan turun, yang mengakibatkan perubahan warna air danau, serta mengakibatkan pula pendangkalan danau akibat endapan lumpur. Selain itu, kadar bakteri e-coli di danau Matano terus meningkat dan telah mencapai lebih dari 2.400 ppm, dari kadar toleransi yang hanya 200 ppm. Belum lagi adanya dugaan pencemaran limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari PT INCO, setelah ditemukannya beberapa lokasi pembuangan limbah yang dilakukan secara terbuka. Dampak pencemaran limbah B3 tersebut akan berakibat buruk pada kesehatan manusia.[6]

Lebih lengkap, Arianto Sangaji (2002) mengatakan, “Kehadiran PT INCO, khususnya di Sorowako, telah menyisakan sejumlah masalah pelik yang belum pernah selesai. Mulai dari konflik tanah, munculnya fenomena sosial enklaf (enclave), masalah perburuhan, rendahnya pendapatan pemerintah, dan bencana lingkungan yang diakibatkannya”. Sangaji menyatakan, PT INCO secara tidak langsung telah menyebabkan terjadinya proses pemiskinan (proletarisasi), yang ditandai dengan hilangnya lahan pertanian masyarakat akibat kegiatan eksplorasi. PT INCO juga telah menyebabkan terjadinya praktek alienasi (pengasingan) terhadap penduduk-penduduk asli dari tanah-tanah mereka (land alienation) yang merupakan warisan leluhur. Kehadiran PT INCO, lanjut Sangaji, juga telah menyebabkan adanya kesenjangan sosial yang sangat mencolok antara kehidupan karyawan PT INCO dengan penduduk asli yang sangat miskin.[7]

Salah satu akibatnya, masyarakat adat Karonsie Dongi kehilangan             identitas adatnya. Mereka cerai berai ke berbagai wilayah sekitarnya  hinggga keluar propinsi. Pada tahun 2000, mereka melakukan pengambil alihan lahan yang dulu adalah lahan sawah mereka, yang kemudian masuk wilayah KK PT Inco. Saat ini hanya tersisa sekitar 20 Kepala  Keluarga Karonsie Dongi yang masih bertahan. Kini, untuk sekedar bertahan hidup mereka bertani kecil-kecilan di dalam dengan             menghadapi intimidasi dan ancaman penggusuran oleh PT Inco.[8]

Meskipun telah beroperasi hampir empat dekade di Indonesia, pemerintah tidak mampu memaksa PT Inco beranjak dari industri tahap pemula, yang ditandai dengan pengerukan bijih nikel dan mengolahnya  setengah jadi (Nikel matte 78%). Kanada dan Jepang adalah negara yang mendapat manfaat paling besar dari tambang ini. Sebanyak 80%  produksi PT Inco diekspor ke Jepang. Ironisnya, Indonesia harus             mengimpor Nikel yang sudah diolah dari Jepang. Ini menjadi bukti bagaimana bangsa ini kehilangan momentum untuk mendapatkan nilai tambah dari bahan tambangnya.

 B.            ANALISIS KEGIATAN PERTAMBANGAN YANG DILAKUKAN OLEH PT INCO DILIHAT DARI SISI INSTRUMEN HAM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

  • 1. INSTRUMEN HAM NASIONAL

Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 menyatakan (1)Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Pemerintah dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Pemerintah, (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Pemerintah dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Pasal 33 UUD 1945 ini menjamin hak ekonomi dan sosial warga pemerintah Indonesia, berdasarkan pasal ini maka kegiatan pertambangan harus dikuasai oleh pemerintah, walaupun dalam kondisi saat ini pertambangan di bumi Indonesia sebagian besar dikuasai oleh asing. Dengan dikuasainya sektor pertambangan oleh pihak asing Indonesia menjadi sangat dirugikan, keuntungan yang didapat sangat kecil dibandingkan dengan kerusakan alam serta pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, budaya masyarakat.

Selain itu dengan dikuasainya kekayaan alam oleh pemerintah, peran serta masyarakat sekitar dapat lebih didorong karena pemerintah memberikan pekerjaan yang layak dan upah yang layak bagi warga sekitar. Selain itu, dengan dikuasainya kekayaan alam Indonesia oleh pemerintah, hal ini menjadi jaminan bahwa Indonesia tidak dapat diintervensi oleh pihak asing baik dalam kebijakan politik maupun ekonomi. Ini juga menjaga agar budaya bangsa Indonesia yang ketimuran tidak musnah diintervensi oleh budaya asing yang masuk ke Indonesia tanpa disaring terlebih dahulu.

Berdasarkan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam lainnya dikuasai oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran  masyarakat. Masuknya investasi asing dibidang tambang menyebabkan kekuatan Indonesia dalam mengolah kekayaan alamnya melemah. Undang-undang penanaman modal asing dan UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Pertambangan, yang semakin mengukuhkan  jalan bagi investasi asing di bidang mineral. Akibat dari lahirnya dua kebijakan tersebut adalah dimulainya sistem kontrak dalam eksploitasi mineral, yang mengakibatkan pemerintah dan perusahaan berada dalam kedudukan yang sama sebagai para pihak pembuat kontrak. Dengan kedudukan seperti ini sesungguhnya pemerintah telah kehilangan kekuasaan untuk mengawasi operasi perusahaan tambang di Indonesia.

Intervensi pihak asing juga menghambat penyelamatan hak-hak masyarakat disekitar kegiatan pertambangan. Dukungan pemerintah Jepang terhadap PT INCO, misalnya diberikan untuk membiayai sejumlah fasilitas produksi penambangan. Perusahaan-perusahaan Jepang terlibat dalam proyek konstruksi sejak tahun 1973, dan memberikan pinjaman untuk membiayai proyek ekspansi PT INCO. Sejak tahun 2004, perusahaan Jepang, Sumitomo Metal Mining Co Ltd, tercatat sebagai pemegang saham di PT INCO, sebesar 20,1 persen, dan mendapatkan hasil produksi selama 15 tahun.[9] Meskipun Jepang sendiri merupakan salah satu pemerintah yang turut mempelopori penyelamatan lingkungan hidup di dunia. Pertemuan di Kyoto yang menghasilkan protokol Kyoto. Namun pemerintah Indonesia dan dunia seakan tidak melihat kerugian serta penderitaan masyarakatnya disekitar kegiatan pertambangan akibat hak-hak ekosob mereka yang terabaikan.

 

2. INSTRUMEN HAM INTERNASIONAL

Deklarasi HAM Universal menjamin hak ekosob setiap warga negara yaitu ditunjukan dalam Pasal 22 yang menyebutkan bahwa setiap orang sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara.

Pasal 17 Deklarasi HAM Universal menyatakan bahwa (1) setiap orang berhak memiliki harta baik sendiri maupun bersama-sama, (2) tidak seorangpun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena. Bagi masyarakat adat, tanah adalah harta yang paling berharga, serta masyarakat adat terbiasa untuk hidup bersama-sama dalam suatu wilayah. Pemisahan masyarakat adat merupakan pemusnahan budaya suatu adat. Masyarakat disekitar pertambangan PT INCO tidak boleh ‘diusir’ dari tanah, tempat tinggal dan sumber penghidupan (harta) mereka, karena tanah (wilayah) itu merupakan ciri kebudayaan suku mereka yang hidup dalam satu wilayah tertentu. Dengan memisah-misahkan mereka berarti telah terjadi penghilangan identitas suatu suku .

Pelanggaran hak-hak ekosob masyarakat disekitar kegiatan pertambangan nikel PT INCO serta pencemaran lingkungan akibat kegiatan tersebut telah melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Sosial, and Cultural Rights), tahun 2005 yang telah diratifiksi oleh Indonesia. Prinsip dan substansi Kovenan Hak Ekosob adalah mewajibkan pemerintah untuk secara aktif dan bertanggung jawab memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya warga pemerintahnya. tidak hanya melakukan kejahatan lingkungan, tetapi juga telah melakukan kejahatan HAM terkait Hak-hak Ekosob. Masyarakat korban sudah kehilangan hak-hak mereka, seperti hak untuk hidup secara layak, hak atas kesejahteraan, hak atas tempat tinggal, hak atas pendidikan, hak atas lingkungan hidup yang sehat, dan hak-hak dasar lainnya.

Dalam kasus PT INCO juga telah melanggar protokol Kyoto, berdasarkan Article 2 ayat 3 Protokol Kyoto bahwa “the parties included in annex I shall strive to implement policies an measures under this article in such a way to minimize adverse effects, including the adverse effects of climate change, effects on international trade, and social, environmental and economics impacts on other parties, especially developing country parties and in particular those identified in Article 4…[10] Sehingga Negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto berkewajiban untuk mengurangi pemanasan global diantaranya juga yang berkaitan dengan akibat kepada lingkungan, sosial, dan ekonomi.

 

 BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

 A.            KESIMPULAN

Kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan oleh PT INCO telah menimbulan dampak bagi Indonesia dan masyarakat sekitarnya. Diantaranya dampak positif dan negatif. Dampak positifnya PT INCO memberikan pemasukan untuk kas negara dari pajak dan royalti, sedangka dampak negatifnya ialah pencemaran lingkungan serta pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, budaya masyarakat yang tinggal disekitar pertambangan nikel PT INCO.

Penguasaan pertambangan oleh individu atau pihak asing telah melanggar Pasal 33  ayat 3 yang menyebutkan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Pemerintah dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Dengan dikeluarkannya undang-undang penanaman odal asing dan undang-undang pertambangan no 11 tahun 1967 telah memberikan peluang yang besar untuk pihak asing dan perorangan untuk menguasai pertambangan di Indonesia. Akibatnya pemerintah tidak dapat memberikan kemakuran bagi masyarakatnya karena keuntungan pemerintah dari kegiatan tersebut hanya sedikit dibandingkan dengan kerusakan alam yang diderita serta berbagai pelanggaran hak-hak ekonomi,sosial, budaya terhadap masyarakat yang tinggal disekitar wilayah pertambangan.

Deklarasi Universal HAM pasal 22 menjamin hak-hak ekonomi, sosial, budaya masyarakat disuatu negara. Pasal 17 menjamin bahwa setiap orang berhak memiliki harta dan tidak boleh dirampas dengan sewenang-wenang. Bagi masyarakat adat, tanah adalah harta yang paling berharga, serta masyarakat adat terbiasa untuk hidup bersama-sama dalam suatu wilayah. Pemisahan masyarakat adat merupakan pemusnahan budaya suatu adat. Pelanggaran hak-hak ekosob masyarakat disekitar kegiatan pertambangan nikel PT INCO serta pencemaran lingkungan akibat kegiatan tersebut telah melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Sosial, and Cultural Rights), tahun 2005 yang telah diratifiksi oleh Indonesia. Prinsip dan substansi Kovenan Hak Ekosob adalah mewajibkan pemerintah untuk secara aktif dan bertanggung jawab memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya warga pemerintahnya. Tidak hanya melakukan kejahatan lingkungan, tetapi juga telah melakukan kejahatan HAM terkait Hak-hak Ekosob. PT INCO dimana sebagian sahamnya dimiliki oleh perusahaan Jepang, telah melanggar Protokol Kyoto yang menyebutkan bahwa setiap negara berupaya mengurangi efek pemanasan global dan efeknya terhadap kehidupan lingkungan, ekonomi, dan sosial.

 B.            SARAN

Hambatan utama pemajuan dan realisasi hak ekosob setidaknya datang dari dua aspek, pertama, pressure untuk menciptakan suatu lingkungan yang kondusif bagi pasar dan investasi ( market friendly policy), kedua, pada saat yang sama, pemerintah meskipun memiliki sumberdaya alam yang memadai untuk mencapai pemenuhan minimum hak ekosob, tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai, termasuk, birokrasi dan lembaga pemerintah yang efisien.[11]

Masalah sosial ekonomi dan lingkungan yang muncul disekitar pertambangan Newmont dan Freeport, disusul oleh INCO harusnya menjadi alasan pemerintah untuk segera mengkaji ulang semua perijinan pertambangan skala besar yang saat ini beroperasi. Fakta-fakata di lapang menunjukan ha yang berbeda dengan pernyataan perusahaan bahwa mereka patuh terhadap hukum dan melakukan pengelolaan lingkungan terbaik. (www.jatam.org) / TN002[12]

Diawali dari re-regulasi bidang investasi dengan mengurangi daftar negatif investasi di tahun 2000 (Keppres 96/2000 tentang bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan syarat tertentu bagi penanaman modal), diikuti dengan pengaturan  sumberdaya seperti air, listrik, migas, kehutanan, dan perkebunan, sampai sektor-sektor financial seperti investasi, dan ketenagakerjaan.  (INFID; 2007) Dalam program Millenium Development Goals, ‘minimum core content’ yang merujuk kepada komponen hak yang harus segera dipenuhi oleh pemerintah setelah menjadi pemerintah pihak dari kovenan. Dalam klasifikasi ini misalnya kewajiban untuk menghapuskan praktek diskriminasi, pemenuhan fasilitas kesehatan dasar, dan pendidikan dasar.

 


[1] altomakmuralto.blogspot.com: Lapindo, INCO, dan Pelanggaran HAM.altomakmuralto.blogspot.com

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Jangan Lagi Memperpanjang Kontrak Karya PT Inco. http://www.jatam.org. Tuesday, 05 June 2007

[6]altomakmuralto.blogspot.com: Lapindo, INCO, dan Pelanggaran HAM.altomakmuralto.blogspot.com            

[7] Ibid.

[8] Jangan Lagi Memperpanjang Kontrak Karya PT Inco. http://www.jatam.org. Tuesday, 05 June 2007

[9] Opcit.

[10] Protocol Kyoto To The United Nations Framework Convention On Climate Change 1998.

[11] Indriaswari D. Saptaningrum. Mengembangkan Jurisprudensi Hak Ekonomi Sosial Budaya.

[12] altomakmuralto.blogspot.com: Lapindo, INCO, dan Pelanggaran HAM.altomakmuralto.blogspot.com

Read Full Post »